.quickedit{ display:none; }

Monday, March 7, 2011

CERPEN: Antara Guru Dan Dai






"Nak, besok kamu mau jadi apa?"
"Aku mau jadi guru dan dai"
"Apakah tidak ada yang lebih baik?"
"Bukankah ada yang lebih baik daripada itu?"





Matahari terbit, sinarnya yang terang menyusup kedalam kamarku yang tidak begitu luas dan tidak pula bgitu sempit. Akupun akhirnya bangun dari tidurku. Dan ketika kulihat jam disebelah kanan tempat tidurku, sekarang pukul 06.30 WIB.

“Waduh,jam setengah tujuh pagi!” Sembari aku melompat dari tempat tidurku

“Aku belum shalat shubuh pula. Kok susah banget ya rasanya kalau mau shalat shubuh tepat waktu.” Gerutuku dalam hati, sembari menuju kamar mandi didekat kasur tempat tidurku.

*************

Aku Yahya. Ya, namaku hanyalah sebatas Yahya. Tidak lebih dan tidak kurang. Aku sekarang bersekolah di SMA Budi Harapan Negeri 2 Jakarta. Kata ayahku, aku diberikan nama Yahya karena harapan dan pesan dari ibuku yang mana 5 hari setelah hari kelahiranku, beliau meninggal dunia. Ibuku berpesan kepada ayahku

“Pak, jika nanti aku harus menghadap kepada Allah SWT setelah kelahiran anak kita ini, tolong berikan nama untuknya yaitu Yahya yang berarti hidup. Aku ingin anak kitai ini nantinya bias hidup sebagaimana hidup yang sebenar-benarnya.” Papar ayah kpeadaku sembari menahan air mata yang telah mebasahi pelupuk matanya.

*************

“Yahya, cepat siap-siap berangkat sekolah.” Panggil ayahku

Aku tak menjawab sama sekali. Karena aku sedang shalat shubuh (yang teritnggal) karena tadi aku ketiduran.

“Ini shalat shubuhnya kira-kira diterima atau tidaknya sama Allah. Ini harikan sudah siang? Bukan shalat shubuh namanya kalau seperti ini.” Gerutuku dalam hati ketika sedang shalat

“Astaghfirullah…” Ucap ayahku dengan suara kecil sembari menggeleng-gelengkan kepalanya ktika membuka pintu kamarku dan menemukanku sedang melaksanakan shalat shubuh di waktu yang sangat janggal seperti.

*************

“Yah, aku berangkat sekolah dulu ya.” Pamitku sembari naik keatas motor Yamaha kesayanganku yang telah terparkir didepan pintu gerbang rumahku. Dan pastinya, selalu aku cium tangan ayahku terlebih dahulu sebelum aku pergi meninggalkan rumah.

“Hati-hati dijalan. Jangan lupa belajar yang benar di sekolah.” Pesan ayaku sambil melambaikan tangannya kepadaku

“Assalammu’alaikum” Pamitku

“Wa’alaikum salam” Jawab ayahku

*************

Kupacu kecepatan motorku dengan kencang. Ketika kulihat jam tanganku, jam menunjukkan pukul 06.45.

“Waduh, 15 menit lagi gerbang sekolah bakalan ditutup nih sama si bogem raksasa penjaga sekolah.” Gerutuku dalam hati.

“drrt…..drrt….” Handphoneku bergetar dan mengeluarkan nada lagu “Laugh Away”, sebuah lagu jepang yang dibawakan oleh YUI. Walaupun aku tidak terlalu mengerti apa artinya, yang paling penting enak didengar dan selain itu, aku juga senang akan semua hal yang berbau jepang.

“Assalammu’alaikum” Sapaku

“Wa’alaikum salam. Ya, besok malam ada acara pengajian akbar di Masjid Istiqlal. Mau ikut lihat ga?” Jawab suara diseberang

“Pematerinya siapa dan jam berapa?” Tanyaku

“Jam 8 malam. Ust.Jalalluddin. Materinya tentang peran guru dan da’i dalam perkembangan dunia” Jawab suara seberang tadi

“Boleh tuh. Aku insya Allah ikut deh. Wassalammu’alaikum.” Tutupku

“Wa’alaikum salam.” Jawab suara diseberang

Lalu kumatikan handphone ku dan… celaka, gerbang sekolah sudah ditutup!

*************

“Assalammu’alaikum.” Sapa Bu Indah selaku wali kelasku.

“Wa’alaikum salam.” Jawab murid-murid serentak.

“Baiklah, saya akan absen kalian terlebih dahulu sebelum kita mulai pelajaran pada pagi hari ini.” Balas Bu Indah.

“Aji Ramadhan,Ali Mubarak,Annisa.” Panggil Bu Indah.

“Hadir bu.” Serempak mereka bertiga menjawab.

“Yahya… Kemana lagi anak itu?” Tanya Bu Indah kesal.

“Assalammu’alaikum. Maaf bu saya telat” Sesalku, karena aku telah membuat sebuah kesalahan. Yaitu menyebutkan kata yang memang sangat tidak bias diterima sebagai alas an oleh siswa yang telat.

“Yahya, cepat letakkan tasmu di meja dan silahkan tutup pintu kelas ini dari luar.” Bentak Bu Indah

Ya, mau bagaimana lagi. Jika Bu Indah sudah marah seperti itu, mau tidak mau kita harus menurut dengan apa yang diperintahkannya. Kuletakkan tasku ke atas kursi kelas dan aku berjalan keluar kelas menuju sebuah taman sekolah hanya untuk sekedar berjalan-jalan.

“Huuh. Apakah semua guru itu hanya bisa memberikan tugas,mengajar,dan pada akhrinya menyingkirkan anak-anak yang nakal dikelas tempat mereka mengajar?” Gerutuku dalam hati.

*************

Kubuka pintu rumahku yang terkena sinar orange matahari karena hari sudah senja. Aku pulang sangat telat karena, ketika tengah-tengah perjalanan pulang ke rumah, aku harus mengawal sebuah mobil warga yang menanyakan tempat rumah sakit dekat daerah sini karena istrinya akan melahirkan.

Bukan hanya itu, aku memiliki kebiasaanku jika pulang telat. Karena, aku sering memperhatikan anak-anak yang berada dipinggiran jalan. Mereka lebih muda dariku. Tetapi, mengapa mereka tidak sekolah? Kebanyakkan dari mereka mengamen di jalan,menjual Koran dan lain sebagainya.

“Assalammu’alaikum” Ucapku sembari masuk kedalam rumah

“Wa’alaikum salam” Jawab ayahku. Akan tetapi, ada yang aneh dari raut wajahnya ketika menyambutku pulang ke rumah

“Sudah mandi dulu, setelah itu jangan lupa shalat maghrib,makan,lalu shalat isya.” Sambung ayahku

*************

“Klik…” Aku menyalakan televisi yang ada di ruang tengah keluarga. Ukurannya tidak begitu besar dan tidakpula begitu kecil.

“Huuh… Kenapa dari pagi sampai malam seperti ini pasti acara disetiap channel televise pasti tentang sinetron semua, kayak ada maknanya aja. Lah ini, sinetron isinya paling ya cumin nangislah,saling tamparlah dan lain sebagainya. Nama sinetronnya islami, tapi isi sama saja. Bodohnya…” Gerutuku diriku, karena semua channel pasti isinya sinetron

Tiba-tiba saja ada sebuah channel yang menarik perhatianku. Yaitu channel berita. Ini dia channel yang mungkin sedikit aneh apabila anak seusiaku senang melihat berita. Biarlah, toh mereka juga apa gunanya menonton sinetron?

Tapi, ada yang membuat hatiku panas ketika melihat berta tersebut. Karena, isi berita tersebut tak lebih dan tak kurang adalah tentang mafia pajak,isu pembangunan gedung DPR baru yang menuai banyak kecaman dan ketidak sepakatan dari rakyat,tawuran antar pelajar dan kasus lainnya. Sebenarnya aku juga bosan melihat berita-berita yang ditayangkan di televise. Karena isu yang diangkat pasti itu-itu saja.

“Mau jadi apa coba Negara Indonesia ini. Negara membudayakan korupsi,kolusi dan nepotisme. DPR sebagai wakil rakyat malah mencari uang bukan mencari solusi untuk permasalahan yang dihadapi oleh rakyat demi pembangunan bangsa. Betapa aneh dan lucunya negeri ini.” Gumamku pelan sembari menampakkan wajah bosan karena wajah Indonesia yang sudah begitu tercoreng

“Dulu ibumu itu adalah seorang guru yang disegani dan seorang da’i yang begitu memperjuangkan hak-hak rakyat kecil.” Jawab ayahku yang tiba-tiba berada disebelah kananku tanpa sepengetahuanku. Sontak kau kaget melihat ayahku

“Uuh… Maksud ayah apa?” Tanyaku bingung

“Sebenarnya harapan ibumu memberikanmu nama Yahya adalah semoga kamu bisa hidup dengan sebenar-benarnya hidup. Tetapi, hidup yang dimaksud bukan hidup untuk dirimu senidiri. Tetapi, hidup untuk orang lain. Kamu harus bermanfaat bagi kehiduopan orang lain, bukan menjadi sampah masyarakt.” Dikata terakhir itu, suara ayahku sedikit meninggi.


Aku semakin bingung dengan apa maksud dari perkataan ayahku tadi. Tidak seperti biasanya ayahku berbicara dengan nada dan ekspresi wajah seperti ini.

“Maksud ayah sebenarnya apa?” Tanyaku bingung

“Ayah hanya kecewa padamu. Tadi siang, ayah ditelepon oleh pihak sekolah. Mereka mengatakan bahwa kamu telat masuk sekolah lagi. Selain itu, kamu juga berbuat onar di dalam kelasmu. Kamupun membuat marah wali kelasmu sendiri.” Jawab ayahku sedikit marah

“Sebenarnya, kurang apalagi ayah dalam mendidikmu?” Kali ini suara ayah meninggi dan kuyakin pasti sedang marah

Aku hanya menundukkan wajahku. Ekspresi ayahku begitu terlihat mengerikan karena beliau pasti sedang marah besar kepadaku. Sebenarnya maklum kalau aku sering berbuat onar di sekolah. Tetapi, baru kali ini saja sekolah menelpon ayahku

“Apa kamu masih ingat cita-cita yang kamu katakana ketika kamu masih kecil? Ketika ayah bertanya padamu saat akhir Bulan Ramadhan?” Tanya ayahku

“Kamu masih ingat, ketika kamu menjawab bahwa kamu ingin menjadi seorang da’I atau guru?” Sambung ayahku lagi.

“Itu hanyalah sebuah masa laluku yah. Aku lebih suka menjadi orang sukses. Bukan menjadi guru yang hanya mengajar dikelas,memberikan tugas,memarahi anaknya dan lain sebagainya. Dan bukan pula seorang da’i yang paling-paling hanya bekerja ketika ada pengajian. Itupun kalau diminta mengisi pengajian. Sisanya, menganggur.” Jawabku tanpa memperhatikan ekspresi ayahku ketika kau berbicara seperti itu

BUAK!!! Tangan ayahku memukul pipiku dengan tangan terkepal. Terlintas wajahnya yang begitu mawah setelah mendengar apa yang aku katakana.

“Dasar anak durhaka!” Teriak ayahku

“Kau anggap apa ibumu itu hah? Dia menjadi guru yang begitu bertanggung jawab akan semua murid-muridnya. Ia menjadi da’i dengan penuh keikhlasan dan kerelaan.” Sambung ayahku

“Tetapi, kamu menganggap hal seperti itu tak lebih dari sekedar pengangguran?” Tutup ayahku dengan nada marah yang begitu besar.

Aku sadar ini salah. Aku salah menganggap guru dan da’i tak lebih dari seorang pengangguran. Aku salah karena secara tidak langsung aku mencaci maki ibuku yang telah melahirkanku yang juga seorang guru dan da’i. Tetapi, mau bagaimana lagi? Aku sudah terlanjur berkata seperti itu.

Akhirnya, akupun kembali menuju kamarku. Karena jam sudah menujukkan pukul 21.30 WIB.

“Nak, walaupun ada guru yang seperti kamu katakan, bukan berarti semua guru itu sama persis dengan yang kamu katakana. Seorang da’i bukanlah seorang pengangguran, tetapi mereka adalah seorang pencerah. Ingat, guru adalah pembentuk generasi dan da’i adalah seorang penggerak generasi.” Tiba-tiba ayahku berkata seperti itu kepadaku

“Sekarang tidurlah, kamu pasti capek sekali setelah tadi kamu pulang menjelang maghrib baru sampai rumah. Oh ya, darimana saja kamu tadi? Mengapa pulang telat?” Tanya ayahku sekaligus menutup percakapan kami malam itu.

Akupun tak menghiraukan pertanyaan tersebut. Aku langsung pergi menuju ke kamar tidurku. Aku tahu itu tidak sopan. Tetapi, aku sudah terbawa emosi antara menyesal dan benci. Ayahkupun langsung meninggalkan ruang tengah tempat dimana kami menonton bersama

*************


NAMA : AMIRULLAH

LAHIR : 25-02-1970

WAFAT : 01-07-2015


NAMA : AISYAH

LAHIR : 12-05-1975

WAFAT : 20-10-1990

“Yah,bu. Kini aku sadar akan arti nama yang kalian berdua berikan kepadaku.” Ucapku didepan makam kedua orang tuaku

“Bu, ibu benar bahwa sebenarnya kita hidup ini bukan hanya untuk diri kita sendiri. Akan tetapi, juga untuk membantu hidup orang lain.” Lanjutku.

Lalu, kupandangi makam ayahku

“Yah, maaf dulu aku sering membuatmu marah. Aku juga minta maaf karena perdebatan dulu dan perkataanku yang mengatakan bahwa guru dan da’i itu tak lebih dari pengangguran.” Ucapku lirih

“Yah,bu. Kini aku tahu mengapa guru dan da’i itu sangatlah penting. Gurulah yang membentuk kita baik karakter,kemampuan dan lain sebagainya dengan kasih sayangnya,kesabarannya dan keikhlasannya. Begitupula dengan da’i, hanya saja tempat mereka berbeda dengan guru.” Ucapku pelan

“Tetapi, tujuan mereka sama. Yaitu, ingin menghasilkan generasi penerus yang baik demi masa depan bangsa,umat islam, dan dunia.” Kataku dengan bangga, karena aku sekarang telah menjadi seorang guru di sebuah sekolah Islam Terpadu. Dan pastinya karena dorongan orangtuaku.

“Ayah, ayo pulang. Sudah mau maghrib nih.” Panggil anakku yang masih berumur 6 tahun.

“Oke… Sebentar lagi ya.” Aku tersenyum kepada anak dan istriku yang mereka berdua juga membalas senyumku.

“Bu,Nia. Ayo kesini dulu.” Panggilku, sembari menunggu mereka yang menghampiriku dan makam kedua orangtuaku

“Yah,bu. Ini istriku dan anakku yang sekarang berumur 6 tahun. Insya Allah, cucu ayah dan ibu akan menjadi penerus perjuangan ayah,ibu serta aku sendiri. Do’akan kami ya.” Ucapku

“Yah, pasti kakek sama nenek pasti keren seperti ayah juga ya? Aku mau besok seperti mereka.” Tanya anakku antusias.

Istriku hanya tersenyum melihat si kecil bertanya sepeti itu dan ia hanya menjawab sebelum aku menjawab pertanyaannya

“Nantilah kamu bisa seperti kakek dan nenekmu. Yang terpenting sekarang kamu harus belajar yang giat terlebih dahulu supaya pintar.” Jawab istriku yang sebelumnya kami bertemu pertam kali di sebuah universitas di Yogyakarta setelah aku lulus SMA

“Oke, ayo kita pulang. Hari sudah larut.” Sahutku sembari meninggalkan makam kedua orangtuaku

Akupun menatap langit dan senyumpun timbul dari wajahku. Kulihat burung-burung berterbangan secara berkelompok dan membentuk huruf “V” sembari melintasi sinar orange yang dikeluarkan oleh sang mentari ketika akan terbenam.

Tugas cerpen pertamaku ^^

Yogyakarta, 21 February 2011 (Spring)

0 comments:

Post a Comment