.quickedit{ display:none; }

Wednesday, February 20, 2013

Gerbang Perjuangan Hidup

Assalammu'alaikum

Kembali lagi nih kawan-kawan dengan postingan yang baru sembari kita menikmati musim hujan bersama dengan teh hangat dan tentunya di depan komputer tersayang kita :) 

Nah, kali ini aku akan share tentang naskah cerpenku yang beberapa waktu lalu aku ikutkan ke dalam lomba "Cipta Cerpen Tingkat Pelajar dan Mahasiswa se-Indonesia" dengan tema " masalah kemiskinan,anak jalanan dan orang terlantar"  yang diadakan oleh Forum Aktif Menulis. 

Alhamdulillah dari 2 naskah yang aku kirimkan, salah satu di antaranya masuk ke dalam nominasi 100 naskah pilihan dan cerpen ini adalah salah satu di antara keduanya. Tapi, naskah cerpen ini tidak termasuk ke dalam 100 naskah pilihan. Naskah satunya masih aku sembunyikan karena cerpen satunya itulah yang rencananya akan diterbitkan menjadi antologi cerpen, hehehe :) 

Penasaran dengan cerpennya, selamat membaca :) 
****

ebelum semua menghilang
Dalam sebuah duka yang mengubang
Aku selalu tersenyum meski itu pahit
Karena perkataan mereka yang begitu membuatku sakit

Dahulu ketika kami kehilangan pegangan
Engkaulah yang menjadi tiang
Bagi kami yang sudah kehilangan tempat berpengang
Engkau selalu datang meski petang datang

Kini...
Setelah ruang memisahkan kita
Antara kehidupan dan kematian
Kamipun harus berjuang menghadapi
Kenyataan yang menyakitkan
Tanpamu dengan penuh pengorbanan

*****

Kututup buku tulisku yang sudah sangat kumal, karena buku tersebut aku temukan di tengah jalan. Akhirnya untuk hari ini aku bisa menuangkan segala macam perasaanku ke dalam buku tersebut yang mana buku tersebut sudah aku anggap sebagai temanku sendiri. Karena, buku itu selalu menemaniku setiap saat baik ketika aku bahagia maupun sedih. Di buku itulah aku bisa menumpahkan segala rasa yang ku rasakan, baik ketika aku sedang marah,sedih dan lain sebagainya dalam bentuk puisi. 

Oh ya, sebelumnya salam kenal aku Andi Ahmad Shabar anak dari seorang tukang becak dan buruh cuci pakaian. Aku tinggal di pinggiran kota besar bersama kedua adikku dan orang tuaku di sebuah rumah yang hanya memiliki dua kamar yang salah satunya dipakai untuk dapur dan ruang tamu. Kami juga tinggal dengan anak-anak seumuranku yang menjadi tetanggaku yang bernasib sama denganku untuk saat ini (aku berharap bahwa besok mereka akan sukses). Aku memiliki hobi yaitu menulis puisi. aku berharap suatu saat aku bisa menjadi penyair terkenal seperti Chairil Anwar,Taufik Ismail dan lain sebagainya.

Saat ini aku duduk di kelas 3 SMA di sebuah SMA Negeri favorit di tempatku, karena aku mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Akan tetapi apadaya diriku, selama 3 tahun di sana, aku merasakan perlakuan yang tidak mengenakkan dari teman-temanku. Banyak dari mereka yang menolakku ada di antara mereka, karena aku ini miskin dan kalian bisa melihat dari pakaianku. Jangankan untuk berteman dengan anak-anak di sana, untuk sekolah saja aku masih harus berfikir dua kali. Meskipun aku mendapatkan beasiswa, tapi aku masih punya kewajiban untuk membantu ayah terutama ibuku. Karena aku memiliki 2 orang adik yang sekarang berada di kelas 3 SMP dan 5 SD. 

Tiap pagi kami harus membantu ibu untuk mencuci pakaian kotor baik milik kami ataupun tetangga kami yang menggunakan jasa cuci baju kami. Pada siang harinya, kami harus mengantarkan baju-baju tetangga yang sudah jadi ke rumah mereka sekaligus mengambil uang upah dari jasa cuci baju kami. Akan tetapi, ibu sekarang sudah mulai uzur. Sering aku lihat ibu batuk-batuk dan merasa tidak sehat, sehingga pekerjaan harus digantikan oleh adikku sehingga ia harus tidak masuk sekolah. Dan saat itulah aku juga sebagai kakak yang paling tua harus membantu adik-adikku.

Tidak hanya itu, terkadang kami kakak-beradik mencari ide untuk berjualan. Kebetulan adikku Asma yang saat ini kelas 3 SMP memiliki bakat menggambar dan melukis. Jadi sepulang sekolah kami langsung menjual hasil lukisan Asma ke orang-orang di tengah jalan dengan harga berkisar lima sampai lima ribu rupiah (tergantung tingkat kesulitan dan hasil lukisannya). Kadang-kadang kami bisa dapat untuk sekitar tiga puluh ribu rupiah, dan uang tersebut langsung kami berikan kepada ibu sebagai tambahan penghasilan keluarga untuk mencukupi kebutuhan kami berlima.

Ayahku yang bekerja sebagai seorang tukan becak, menjadi seorang panutan bagi kami semua. Beliau mengajarkan kami bagaimana caranya untuk selalu bersabar dalam melakukan apapun termasuk dalam beribadah. Bahkan ayahku selalu mengajarkan kami semua untuk saling tolong-menolong. Ibuku juga begitu. Meskipun banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, beliau tidak pernah menghilangkan rasa kasih sayangnya kepada kami semua. Bahkan ketika kami bertiga terlelap terlalu awal, beliaulah yang memberikan selimut di atas badan kami semua agar kami tidak kedinginan.

Tapi sayang, semua itu kini tinggal kenangan. Ayah kami, harus meninggalkan kami terlebih dahulu setelah kecelakaan setengah tahun yang lalu. Ketika ayah sedang mengendarai becaknya untuk mencari penumpang, tiba-tiba dari arah berlawanan ayah ditabrak oleh sebuah mobil sedang yang sedang melaju kencang. Setelah kejadian itu, ayahpun di bawa ke rumah sakit oleh masyarakat yang berada di lokasi kejadian. Tapi sayang, pelaku yang menabrak ayah lari meninggalkan beliau begitu saja. Ketika ayah di bawa ke rumah sakit untuk dirawat, ternyata dari rumah sakitpun tidak langsung melanjutkan perawatan karena, biaya awal pengobatan harus kami lunasi terlebih dahulu. Akan tetapi, harganya tinggi sekali dan kami tidak memiliki uang sama sekali dan pihak rumah sakitpun memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan ayah. 

Akhirnya, kamipun membawa ayah ke rumah untuk di rawat di rumah dengan kemampuan kami sendiri. Akan tetapi, luka ayah sangat parah. Kamipun bingung harus mencari bantuan kemana. Penghasilan kami semua tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pengobatan ayah kami. Ketika ibu ingin meminta surat keterangan untuk mendapatkan akses ke rumah sakitpun, susahnya minta ampun karena kami tinggal di pinggiran kota dan tidak terdata oleh petugas sensus. Akhirnya ibupun harus meminjam uang ke tetangga-tetangga yang menjadi pelanggan ibu. Akan tetapi, mereka meminta uang tersebut harus digantikan dalam waktu dekat dan ditambah dengan bunga pinjaman yang mana semakin mempersulit kami.

Akhirnya setelah berjuang selama satu minggu, ayah harus menghembuskan nafas terakhirnya di hadapan kami. Kami semua merasa berat sekali ketika ayah harus meninggalkan kami semua sedangkan kami masih membutuhkan bimbingan dan tulang beliau untuk menghidupi kami. 

Ibu lah yang paling merasa tertekan. Karena, secara tidak langsungpun beliau harus menghidupi kami bertiga. Padahal, kondisi beliau sudah sangat uzur. Akan tetapi, setelah ayah meninggal, ibu sering sekali memaksakan dirinya untuk menghidupi kami. Jangankan untuk menghidupi kami semua, hutang-hutang kepada tetangga pun harus segera dilunasi meskipun ada yang berbaik hati untuk melunasi hutang ibu kepada mereka. Ibu yang bekerja seperti itu, membuat kami harus lebih banyak meninggalkan sekolah. 
Ternyata, ujian kami tidak hanya sampai di sana. Adikku Asma dan Nisa (Nisa masih kelas 5 SD), sering sekali mendapatkan ejekan dari teman-temannya. Karena tidak sedikit dari teman mereka yang orang tuanya adalah pelanggan ibuku dan kalian pasti tahu kan bahwa ibuku memiliki banyak hutang kepada para pelanggan ibuku.  Tidak hanya itu, keaktifanku di kelaspun semakin berkurang karena aku harus membantu ibu dan adik-adikku untuk mencukupi keluargaku. Aku hanya bermodalkan kemampuanku berpuisi untuk kukirimkan ke media massa baik koran maupun majalah, dan kalau tulisanku terbit lumayan untuk tambahan pemasukkan keluarga.

Setelah kami terbiasa dengan kehidupan kami tanpa ayah, datang kembali ujian kepada kami semua. Karena ibu kami harus meninggalkan dunia karena kesehatannya yang semakin memburuk. Kami semua tidak tahu mengapa itu bisa terjadi. Tiba-tiba saja saat tengah malam, ibu terbatuk-batuk sampai mengeluarkan darah dan badan ibu panas sekali. Kamipun langsung memanggil tetangga sebelah kami untuk minta bantuan supaya ibu dibawakan ke rumah sakit. Akan tetapi sayang, kata dokter ibu sudah terlambat untuk di bawa ke rumah sakit karena sakitnya sudah kronis. Dokterpun menyarankan kami ke rumah sakit yang bisa menyembuhkan ibu, akan tetapi biayanya sangat mahal. Akhirnya kami harus merawat ibu malam hari itu juga, dan pada pagi harinya ibu meninggal dunia ketika kami semua ketiduran di atas pangkuannya. 

Aku masih ingat perkataan ibu sebelum meninggal. Kami semua menangis di pangkuannya kecuali Nisa yang sudah terlelap terlebih dahulu.

“Ibu, apa ibu akan meninggalkan kami semua.” Isak Asma 

“Ibu tidak akan meninggalkan kalian semua, hanya saja ibu akan berada di alam yang berbeda dengan kalian apabila Allah memanggil ibu. Setidaknya juga ibu bisa menemani ayah juga.” Jawab ibuku dengan tangisan kecil di matanya.

“Tapi kalau ibu meninggal, siapa yang akan menjaga kami? Siapa yang akan menemani kami bu.” Tanyaku sambil terisak.

“Kan ada Andi. Ingat juga, kita punya Allah. Ketika kita kesepian, Allah lah yang akan menjaga kita semua. Allah juga akan selalu menjaga kalian semua selama kalian juga tetap menjalankan perintah Allah. Ibu yakin kok kalau Allah pasti akan melindungi kalian semua.” Jawab ibu sambil terisak.

“Ibu.....” Ucapku dan Asma dalam hati. Dan setelah itu kami tertidur, dan ketika kami sadar, ibu sudah tiada.

******
Setelah ibu meninggalkan kami semua, kami bingung apa yang harus kami perbuat. Kepada siapa kami harus mengais tangan. Akhirnya aku dan Asma sepakat bahwa Asma yang akan mendidik Nisa dan tetap bersekolah sekaligus dia menjual lukisannya kepada teman-temannya di sekolah. Sedangkan aku,  dengan terpaksa harus bekerja demi memenuhi kebutuhan kami bertiga dengan berkerja sebagai seorang tukan becak dan pengumpul sampah.

Sampai suatu ketika, aku dipanggil oleh kepala sekolah karena nilai dan presensiku di kelas turun sangat drastis. 

“Andi, bapak tahu keadaanmu sekarang harus menjadi tulang punggung bagi kedua adikmu. Akan tetapi, kamu tidak bisa dengan seenaknya meninggalkan pelajaran di kelas. Terlebih lagi kamu ini mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Tolong gunakan itu dengan baik.” Buka Pak Kholid selaku kepada sekolah

“Bapak, saya paham maksud bapak. Tapi kalau bukan saya siapa lagi yang bisa menghidupi mereka? Posisi saya sekarang menggantikan ayah dan ibu saya yang sudah meninggal. Saya tidak bisa tenang ketika saya dengan santainya berangkat sekolah dengan beasiswa, sedangkan adik-adik saya harus menderita. Terlebih lagi di sekolah, mereka sering kali diejek oleh teman-temannya. Tugas sayalah untuk melindungi mereka semua.” Jawabku agak marah

“Tapi, kamu sekolah di sini tidak mudah. Pemerintah sudah memberikan kamu beasiswa. Itu adalah resikomu kalau kamu mendapatkan beasiswa. Kamu mau tidak mau harus menyelesaikan pendidikanmu dengan nilai yang baik pula. Ingat, masih banyak orang yang dulunya mendaftar seperti kamu, tapi mereka tidak bisa terseleksi. Kalau kamu seperti ini terus, ini namanya sama saja seperti orang yang kurang ajar. Sudah diberikan kesempatan tapi tidak berterima kasih. Kalau saya tahu seperti ini, sudah dari dulu saya sarankan ke pemerintah supaya memberikan beasiswa kepada orang lain saja.” Pak Kholid dengan nada sedikit meninggi menanggapi perkataanku


“Baiklah pak kalau seperti itu. Mulai saat ini saya putuskan saya berhenti dari sekolah ini dan saya nyatakan beasiswa saya silahkan dicabut dan jangan pernah mencari saya lagi. Saya punya kewajiban yang lebih penting daripada beasiswa,nilai dan lain sebagainya yaitu sebagai pengganti ayah dan ibu saya dalam menjaga kedua adik saya terlebih keluarga saya. Terima kasih Pak Kholid atas perhatian Bapak selama ini. Saya juga mohon maaf apabila banyak merepotkan Bapak. Saya mohon pamit.” Jawabku dengan penuh rasa sedih dan kecewa setelah mendengar perkataan Pak Kholid, dan pada akhirnya aku harus memutuskan seperti itu.

Ketika aku kembali ke kelas, langsung aku ambil tas jinjingku dan aku langung berjalan keluar kelas. Seketika itu, teman-teman sekelasku bertanya aku mau kemana. 

“Andi, kamu mau ke mana? Pelajaran sekolah belum selesai loh.” Tanya Randy.

“Mulai hari ini aku sudah bukan menjadi siswa sekolah ini. Karena aku memutuskan untuk berhenti dari sekolah ini dan beasiswaku terpaksa aku lepaskan demi adik-adikku di rumah. Maaf ya teman-teman kalau aku selama ini ada salah dan terima kasih karena mau menjadi temanku.” Ucapku dengan air mataku yang hampir tumpah.

“Tapi ndi, kamu itu siswa berprestasi dan kami butuh kamu di kelas ini.” Teriak Anita dan diikuti teman-teman sekelasku

“Terima kasih semuanya. Akan tetapi, mungkin tempatku bukan di sini. Aku pamit dulu ya, aku harus pulang ke rumah sekarang. Selamat tinggal.” Ucapku dan tidak kusangka air mata jatuh dari pipiku.

Ketika aku akan keluar kelas, aku sempat melihat ke sekeliling kelas untuk terakhir kalinya. Dan saat itulah aku berhenti pada sesosok perempuan yang saat itu tertunduk dan wajahnya memerah. Akan tetapi aku tidak tahu apakah dia menangis atau tidak. Setahuku, dia salah satu dari teman-temanku yang selalu menjadi teman diskusi dan berbagi untukku selama di sekolah ini. 

Ketika aku meninggalkan gerbang sekolah, akupun pamit dengan Bapak Satpam sekolahku sembari mohon pamit dan meminta maaf kalau selama ini aku punya banyak salah. Dan akhirnya mulai saat ini perjuanganku untuk mempertahankan keluargakupun dimulai sejak aku melepas pendidikanku demi kesuksesan adik-adikku dan kelangsungan kami semua.
Dan akhirnya mulai saat ini perjuanganku untuk mempertahankan keluargakupun dimulai sejak aku melepas pendidikanku demi kesuksesan adik-adikku dan kelangsungan kami semua.

15 Oktober 2012, 21.16 WIB

0 comments:

Post a Comment