Alkisah di sebuah desa terpencil dari suatu pulau, hiduplah seorang guru agama yang bernama Pak Mukhlis. Ia hidup bersama seorang istri dan ketiga anaknya yang sudah mulai beranjak dewasa. Ke tiga anak ini memiliki kemampuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ketiga anak tersebut adalah Iman,Ali dan Imran.
Iman adalah anak yang pandai dan cerdas, banyak teman sekolahnya yang menyeganinya karena Iman sangat pintar dalam pelajaran di kelasnya. Bahkan, wali kelasnya sendiri sering merekomendasikan Iman untuk mendapatkan beasiswa.
Ali adalah anak yang piawai dalam memimpin. Selama ia bersekolah, ia sangat disegani karena ia bijaksana dan amanah dalam menjalankan kepemimpinannya bahkan tidak jarang ia bisa membawa teman-temannya untuk benar-benar sadar bahwa mereka adalah calon penerus bangsa ini.
Sedangkan Imran adalah anak yang pemberani. Ia tidak segan-segan melarang teman-temannya untuk melakukan segala sesuatu yang dilarang oleh agama dan Negara, bahkan ia tidak segan-segan untuk menggunakan fisiknya ketika memang harus digunakan.
Pak Mukhlis dalam mendidik anaknya, selalu menceritakan kisah para nabi,sahabat dan para tokoh-tokoh terkenal dalam Islam seperti Imam Ghazali,Jabir Ibn Hayyan dan lain sebagainya di sela-sela menjelang tidur anak-anaknya ketika masih kecil karena, harapan beliau anak-anaknya kelak dapat menjadi seperti para tokoh-tokoh islam.
Akan tetapi, suatu ketika Pak Mukhlis khawatir yang melihat ke tiga anaknya saat ini. Iman yang karena kepintaran dan kecerdasannya, ia sedang mempersiapkan dirinya untuk ujian penerimaan mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi nasional di tanah jawa yang terkenal, sering sekali telat dalam melaksanakan shalat lima waktunya. Bahkan pernah Pak Mukhlis memarahi Iman karena hampir saja ia melupakan shalat isya-nya karena sudah kecapean ketika belajar dan langsung tidur.
Berbeda dengan Ali, berkat kepiawaiannya, Ali mendapatkan tawaran kerja untuk menjadi salah satu dari jajaran CEO (Chief executive officer) di sebuah perusahaan besar di kota. Akan tetapi, sebelum Ali mendapat tawaran kerja di sana, ia sudah diamanati menjadi ketua takmir masjid. Karena kesibukkannya di kota, Ali pun semakin lama lupa dengan tugasnya sebagai ketua takmir masjid yang mana memakmurkan masjid di rumahnya.
Lain halnya dengan Imran, ia sekarang membangun sebuah usaha meubel di rumahnya. Imran yang berani menegur anak buahnya sering kali menjadi permasalahan di lingkungan anak buahnya sendiri karena sering kali Imran ketika menegur anak buahnya menggunakan kata-kata kasar.
Mendapati hal tersebur, Pak Mukhlis pun bingung ingin menasihati anaknya seperti apa dengan cara yang sesuai dengan umur mereka. Akhirnya, Pak Mukhlis teringat dengan ilmu yang pernah ia dapatkan semasa sekolah di sebuah pondok pesantren. Akhirnya, Pak Mukhlis pun memanggil ke tiga anaknya untuk shalat maghrib berjamaah di rumah. Ketika selesai shalat, Pak Mukhlis pun memulai pembicaraan kepada ke tiga anaknya.
Ketiga anak itu pun saling memandang satu sama lain karena mereka bertiga tidak paham kepada siapa pembiacaraan ini ditujukan, meskipun mereka bertiga mendengarkannya. Lalu, Pak Mukhlis pun berkata lagi
“Sebelum Allah menutup umurku, hendaknya aku mengingatkan kembali kepada kalian sebagai bekal kalian di masa depan dan supaya kalian tidak melupakan apa yang telah aku ajarkan kepada kalian.” Tutup Pak Mukhlis sebelum masuk ke persoalan.
“Wahai anakku, menurut kalian apakah yang paling dekat di dunia ini?” Tanya sang ayah
“Rumah,Masjid,Warung sebelah.” Jawab ke tiga anaknya secara bergantian
“Benar, wahai anakku. Akan tetapi ada yang lebih dekat daripada itu. Tahukah kalian?” Tanya sang ayah akan tetapi mereka menggelengkan kepala.
Akhirnya sang ayah pun berkata “Maut adalah sesuatu yang paling dekat dengan kita. Kita tidak pernah tahu kapan maut memanggil kita semua. Bisa jadi setelah pertemuan kita ini, salah satu dari kita ada yang dipanggil oleh Allah untuk kembali kepadanya. Oleh karena itu anakku, selama engkau berkegiatan ingatlah kepada maut. Dan lakukan segala amalmu hanya dalam rangka untuk mempersiapkan bekal mu setelah mati.” Sang anakpun langsung terbelalak karena mereka akhirnya sadar bahwa sebenarnya maut ada di mana-mana.
“Wahai anakku, menurut kalian apakah yang paling jauh di dunia ini?” Sang ayah bertanya kembali
“Tanah Jawa,Luar Negeri,Luar Angkasa” Jawab mereka secara bergantian
“Benar, wahai anakku. Akan tetapi ada yang lebih jauh daripada itu. Tahukah kalian?” Tanya sang ayah akan tetapi mereka menggelengkan kepala kembali.
Sang ayahpun berkata kembali “Yang paling jauh adalah masa lalu wahai anakku. Ketika kita sudah melewati masa lalu, percuma bagi kita untuk mengulangi masa lalu yang telah kita lewati. Karena, masa lalu itu adalah sebuah pelajaran bagimu. Oleh karena itu, gunakanlah masa kini mu dengan benar dan canangkan masa depanmu.”
“Wahai anakku, menurut kalian apakah yang paling berat di dunia ini?”
“Yang paling berat di dunia ini adalah gajah yang amat besar,gedung-gedung perkotaan yang amat tinggi,peralatan-peralatan berat.” Serempak ketiga anaknya menjawab.
“Benar sekali anakku. Akan tetapi, dari semuanya masih ada yang lebih berat. Tahukah kalian?” Tanya sang ayah, akan tetapi mereka bertiga menggelengkan kepalanya kembali
Sang ayahpun berkata “Yang paling berat di dunia ini adalah memegang amanah. Ingatlah anakku, bahwa esok ketika kamu memegang amanah, gunakan amanah itu dan jagalah amanah yang telah diberikan kepadamu. Karena, sesungguhnya orang-orang yang tidak memegang amanahnya dengan baik, niscaya dia akan masuk ke dalam neraka. Ketika engkau mendapatkan sebuah amanat, tandanya orang-orang disekitarmu telah mempercayaimu, oleh karena itu jagalah amanah tersebut.”
“Wahai anakku, menurut kalian apakah yang paling ringan di dunia ini?”
“Sudah jelas kapas dan debu.” Jawab ketiganya secara serentak.
“Benar, akan tetapi masih ada yang lebih ringan daripada itu. Tahukah kalian?” Tanya sang ayah kembali dan mereka bertiga tetap menggelengkan kepala.
“Ingatlah wahai anakku. Bahwa yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan shalat. Kerap kali ketika kita sedang asik mengurusi sibuknya dunia, kita sampai melupakan shalat lima waktu. Kesibukkan dunia sering kali membuat diri kita terlena, terlebih lagi budaya pergaulan sekarang. Oleh karena itulah, jaga shalat wajib kalian jangan sampai kalian tinggalkan. Ingatlah bahwa shalat yang lima itu adalah tiang agama, dan barang siapa yang tidak melaksanakan shalat yang lima, berarti dia telah meruntuhkan tiang agama.”
“Yang terakhir anakku, menurut kalian apakah yang paling tajam di dunia ini?”
“Pisau dan Samurai.” Jawab ketiganya secara serempak
“Benar anakku. Akan tetapi masih ada yang lebih tajam daripada itu semua. Tahukah kalian?” Kembali mereka bertiga hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Lalu dengan sekejap sang ayah melanjutkan pembicaraannya. “ingatlah anakku, bahwa yang paling tajam adalah lisan (perkataan). Lisan yang keluar dari lidah kalian sesungguhnya lebih tajam daripada apapun. Luka yang dihasilkan oleh senjata, masih bisa disembuhkan dengan obat-obatan. Akan tetapi, luka yang disebabkan oleh lisan kenanya pasti ke hati dan tidak ada obatnya. Apabila hati seseorang telah terluka, maka dendamlah yang muncul di dalam dirinya. Jadi, jagalah lisan kalian agar tidak melukai hati orang lain sehingga mereka tidak dendam kepadamu.”
Sejenak mereka tertegun mendengar penjelasan ayah mereka. Akan tetapi, Pak Mukhlis langsung melanjutkan pembicaraanya kepada ketiga anaknya.
“Wahai anakku, ingatlah semua yang bapak sampaikan itu adalah cerminan dari kalian.” Serentak, ketiga anaknya kaget. Ternyata ayah mereka sedang menyindir dan menasehati mereka dan mereka tidak sadar.
“Iman, bapak sadar kamu sekarang sudah semakin sibuk untuk mengejar kuliahmu. Terlebih lagi kamu pintar dan sering mendapatkan beasiswa. Bapak bangga kepadamu, akan tetapi jangan sampai kamu tinggalkan shalatmu. Bapak rindu sekali saat-saat di mana kamu shalat berjama’ah bersama bapak terlebih lagi bapak sangat senang apabila kamu yang menjadi imam. Janganlah kau lupakan shalatmu, karena di dalam shalat pula terdapat do’a. Berdo’alah kepada Allah, mohon kemudahan kepada-Nya supaya kuliahmu bisa selesai dengan nilai yang baik.
“Imran, jagalah lisan dan perbuatanmu agar tidak menyakiti orang lain. Ingat seperti yang tadi bapak katakan, apabila kamu sudah menyakiti hati orang lain, maka yang muncul adalah dendam, dan dendam itu akan membawakan kepada kehancuran. Sayangilah orang-orang yang berada di bawahmu. Berikan hak mereka sebagai orang yang bekerja kepadamu. Meskipun mereka melakukan kesalahan, tegurlah dengan cara yang baik sehingga mendatangkan ketentraman di dalam hati mereka dalam bekerja. Sehingga mereka bekerja giat bukan karena takut, akan tetapi segan kepadamu.
“Dan yang terakhir kepada anakku Ali. Bapak tahu bahwa sebenarnya kamu sedang sibuk untuk mengurusi pekerjaanmu di kota. Akan tetapi, jangan sampai pekerjaanmu di kota membuatmu lupa bahwa kamu juga memiliki amanat di desa ini. Kamu sekarang dipercaya sebagai seorang takmir masjid, maka laksanakanlah. Ingat semua warga di sini percaya kepadamu, karena kapasitasmu sebagai seorang ketua takmir masjid sudah diakui oleh masyarakat. Setidaknya, ketika kamu sedang berhalangan, berilah kabar kepada pengurus takmir masjid yang lain. Akan tapi, jangan juga kamu selalu bebankan amanah yang seharusnya kamu lakukan kepada orang lain.”
Akhirnya ketiga anaknyapun sadar akan apa yang telah mereka perbuat. Dan sekali lagi sang ayahpun senang melihat perubahan yang terjadi kepada anaknya. Iman sekarang menjadi seorang dosen di salah satu universitas terkenal di kota di mana dulu ia berkuliah setelah mendapatkan beasiswa S2 ke Amerika. Imran saat ini berhasil melebarkan sayap usaha meubelnya sampai ke pasar nasional, bahkan tidak sedikit barang-barang produksinya yang di ekspor ke luar negeri. Tidak hanya itu, Imranpun sekarang menjadi orang yang disegani oleh para bawahannya karena sikapnya yang tegas tapi lembut. Sedangkan Iman, saat ini dipercayai oleh seorang pejabat negara untuk menjadi seorang direktur dari sebuah BUMN. Tidak hanya itu, Iman dalam melaksanakan amanatnya sebagai seorang direktur, ia juga berdakwah kepada para karyawannya.
Pak Mukhlispun senang melihat perkembangan ketiga anaknya yang sukses mencapai cita-cita mereka dan mereka tetap berdakwah di tempat mereka bekerja.
*****
“Wah dik, andaikata 10 tahun yang lalu bapak tidak menasehati kita semua, mungkin saat ini kita tidak akan mendapatkan nikmat yang besar seperti ini.” Ucap Ali kepada kedua adiknya saat mereka berkumpul keluarga besar pada saat Idul Fitri di kampung mereka.
“Iya kak, semoga Allah menerima bapak di sisi-Nya. Dan semoga amal-amal beliau diterima di sisi Allah. Amin” Jawab Imran dan Iman.
Di depan makam ayah mereka bertiga, anginpun bertiup bersepoi-sepoi menandakan waku yang semakin menjelang maghrib setelah langit semakin melukiskan warna kejinggaannya yang indah kepada mereka bertiga.
“Ayo Kak Imran,Kak Ali kita ke masjid. Udah mau waktu maghrib nih” Ajak Iman.
“Ayo” Serempak mereka bertiga meninggalkan makam ayah mereka dan pergi menuju masjid untuk melaksanakan shalat maghrib.
MyDormitory
6 October 2012,16.23 WIB
WEW...keren2 ^_^
ReplyDelete