.quickedit{ display:none; }

Wednesday, February 20, 2013

Gerbang Perjuangan Hidup

Assalammu'alaikum

Kembali lagi nih kawan-kawan dengan postingan yang baru sembari kita menikmati musim hujan bersama dengan teh hangat dan tentunya di depan komputer tersayang kita :) 

Nah, kali ini aku akan share tentang naskah cerpenku yang beberapa waktu lalu aku ikutkan ke dalam lomba "Cipta Cerpen Tingkat Pelajar dan Mahasiswa se-Indonesia" dengan tema " masalah kemiskinan,anak jalanan dan orang terlantar"  yang diadakan oleh Forum Aktif Menulis. 

Alhamdulillah dari 2 naskah yang aku kirimkan, salah satu di antaranya masuk ke dalam nominasi 100 naskah pilihan dan cerpen ini adalah salah satu di antara keduanya. Tapi, naskah cerpen ini tidak termasuk ke dalam 100 naskah pilihan. Naskah satunya masih aku sembunyikan karena cerpen satunya itulah yang rencananya akan diterbitkan menjadi antologi cerpen, hehehe :) 

Penasaran dengan cerpennya, selamat membaca :) 
****

ebelum semua menghilang
Dalam sebuah duka yang mengubang
Aku selalu tersenyum meski itu pahit
Karena perkataan mereka yang begitu membuatku sakit

Dahulu ketika kami kehilangan pegangan
Engkaulah yang menjadi tiang
Bagi kami yang sudah kehilangan tempat berpengang
Engkau selalu datang meski petang datang

Kini...
Setelah ruang memisahkan kita
Antara kehidupan dan kematian
Kamipun harus berjuang menghadapi
Kenyataan yang menyakitkan
Tanpamu dengan penuh pengorbanan

*****

Kututup buku tulisku yang sudah sangat kumal, karena buku tersebut aku temukan di tengah jalan. Akhirnya untuk hari ini aku bisa menuangkan segala macam perasaanku ke dalam buku tersebut yang mana buku tersebut sudah aku anggap sebagai temanku sendiri. Karena, buku itu selalu menemaniku setiap saat baik ketika aku bahagia maupun sedih. Di buku itulah aku bisa menumpahkan segala rasa yang ku rasakan, baik ketika aku sedang marah,sedih dan lain sebagainya dalam bentuk puisi. 

Oh ya, sebelumnya salam kenal aku Andi Ahmad Shabar anak dari seorang tukang becak dan buruh cuci pakaian. Aku tinggal di pinggiran kota besar bersama kedua adikku dan orang tuaku di sebuah rumah yang hanya memiliki dua kamar yang salah satunya dipakai untuk dapur dan ruang tamu. Kami juga tinggal dengan anak-anak seumuranku yang menjadi tetanggaku yang bernasib sama denganku untuk saat ini (aku berharap bahwa besok mereka akan sukses). Aku memiliki hobi yaitu menulis puisi. aku berharap suatu saat aku bisa menjadi penyair terkenal seperti Chairil Anwar,Taufik Ismail dan lain sebagainya.

Saat ini aku duduk di kelas 3 SMA di sebuah SMA Negeri favorit di tempatku, karena aku mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Akan tetapi apadaya diriku, selama 3 tahun di sana, aku merasakan perlakuan yang tidak mengenakkan dari teman-temanku. Banyak dari mereka yang menolakku ada di antara mereka, karena aku ini miskin dan kalian bisa melihat dari pakaianku. Jangankan untuk berteman dengan anak-anak di sana, untuk sekolah saja aku masih harus berfikir dua kali. Meskipun aku mendapatkan beasiswa, tapi aku masih punya kewajiban untuk membantu ayah terutama ibuku. Karena aku memiliki 2 orang adik yang sekarang berada di kelas 3 SMP dan 5 SD. 

Tiap pagi kami harus membantu ibu untuk mencuci pakaian kotor baik milik kami ataupun tetangga kami yang menggunakan jasa cuci baju kami. Pada siang harinya, kami harus mengantarkan baju-baju tetangga yang sudah jadi ke rumah mereka sekaligus mengambil uang upah dari jasa cuci baju kami. Akan tetapi, ibu sekarang sudah mulai uzur. Sering aku lihat ibu batuk-batuk dan merasa tidak sehat, sehingga pekerjaan harus digantikan oleh adikku sehingga ia harus tidak masuk sekolah. Dan saat itulah aku juga sebagai kakak yang paling tua harus membantu adik-adikku.

Tidak hanya itu, terkadang kami kakak-beradik mencari ide untuk berjualan. Kebetulan adikku Asma yang saat ini kelas 3 SMP memiliki bakat menggambar dan melukis. Jadi sepulang sekolah kami langsung menjual hasil lukisan Asma ke orang-orang di tengah jalan dengan harga berkisar lima sampai lima ribu rupiah (tergantung tingkat kesulitan dan hasil lukisannya). Kadang-kadang kami bisa dapat untuk sekitar tiga puluh ribu rupiah, dan uang tersebut langsung kami berikan kepada ibu sebagai tambahan penghasilan keluarga untuk mencukupi kebutuhan kami berlima.

Ayahku yang bekerja sebagai seorang tukan becak, menjadi seorang panutan bagi kami semua. Beliau mengajarkan kami bagaimana caranya untuk selalu bersabar dalam melakukan apapun termasuk dalam beribadah. Bahkan ayahku selalu mengajarkan kami semua untuk saling tolong-menolong. Ibuku juga begitu. Meskipun banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, beliau tidak pernah menghilangkan rasa kasih sayangnya kepada kami semua. Bahkan ketika kami bertiga terlelap terlalu awal, beliaulah yang memberikan selimut di atas badan kami semua agar kami tidak kedinginan.

Tapi sayang, semua itu kini tinggal kenangan. Ayah kami, harus meninggalkan kami terlebih dahulu setelah kecelakaan setengah tahun yang lalu. Ketika ayah sedang mengendarai becaknya untuk mencari penumpang, tiba-tiba dari arah berlawanan ayah ditabrak oleh sebuah mobil sedang yang sedang melaju kencang. Setelah kejadian itu, ayahpun di bawa ke rumah sakit oleh masyarakat yang berada di lokasi kejadian. Tapi sayang, pelaku yang menabrak ayah lari meninggalkan beliau begitu saja. Ketika ayah di bawa ke rumah sakit untuk dirawat, ternyata dari rumah sakitpun tidak langsung melanjutkan perawatan karena, biaya awal pengobatan harus kami lunasi terlebih dahulu. Akan tetapi, harganya tinggi sekali dan kami tidak memiliki uang sama sekali dan pihak rumah sakitpun memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan ayah. 

Akhirnya, kamipun membawa ayah ke rumah untuk di rawat di rumah dengan kemampuan kami sendiri. Akan tetapi, luka ayah sangat parah. Kamipun bingung harus mencari bantuan kemana. Penghasilan kami semua tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pengobatan ayah kami. Ketika ibu ingin meminta surat keterangan untuk mendapatkan akses ke rumah sakitpun, susahnya minta ampun karena kami tinggal di pinggiran kota dan tidak terdata oleh petugas sensus. Akhirnya ibupun harus meminjam uang ke tetangga-tetangga yang menjadi pelanggan ibu. Akan tetapi, mereka meminta uang tersebut harus digantikan dalam waktu dekat dan ditambah dengan bunga pinjaman yang mana semakin mempersulit kami.

Akhirnya setelah berjuang selama satu minggu, ayah harus menghembuskan nafas terakhirnya di hadapan kami. Kami semua merasa berat sekali ketika ayah harus meninggalkan kami semua sedangkan kami masih membutuhkan bimbingan dan tulang beliau untuk menghidupi kami. 

Ibu lah yang paling merasa tertekan. Karena, secara tidak langsungpun beliau harus menghidupi kami bertiga. Padahal, kondisi beliau sudah sangat uzur. Akan tetapi, setelah ayah meninggal, ibu sering sekali memaksakan dirinya untuk menghidupi kami. Jangankan untuk menghidupi kami semua, hutang-hutang kepada tetangga pun harus segera dilunasi meskipun ada yang berbaik hati untuk melunasi hutang ibu kepada mereka. Ibu yang bekerja seperti itu, membuat kami harus lebih banyak meninggalkan sekolah. 
Ternyata, ujian kami tidak hanya sampai di sana. Adikku Asma dan Nisa (Nisa masih kelas 5 SD), sering sekali mendapatkan ejekan dari teman-temannya. Karena tidak sedikit dari teman mereka yang orang tuanya adalah pelanggan ibuku dan kalian pasti tahu kan bahwa ibuku memiliki banyak hutang kepada para pelanggan ibuku.  Tidak hanya itu, keaktifanku di kelaspun semakin berkurang karena aku harus membantu ibu dan adik-adikku untuk mencukupi keluargaku. Aku hanya bermodalkan kemampuanku berpuisi untuk kukirimkan ke media massa baik koran maupun majalah, dan kalau tulisanku terbit lumayan untuk tambahan pemasukkan keluarga.

Setelah kami terbiasa dengan kehidupan kami tanpa ayah, datang kembali ujian kepada kami semua. Karena ibu kami harus meninggalkan dunia karena kesehatannya yang semakin memburuk. Kami semua tidak tahu mengapa itu bisa terjadi. Tiba-tiba saja saat tengah malam, ibu terbatuk-batuk sampai mengeluarkan darah dan badan ibu panas sekali. Kamipun langsung memanggil tetangga sebelah kami untuk minta bantuan supaya ibu dibawakan ke rumah sakit. Akan tetapi sayang, kata dokter ibu sudah terlambat untuk di bawa ke rumah sakit karena sakitnya sudah kronis. Dokterpun menyarankan kami ke rumah sakit yang bisa menyembuhkan ibu, akan tetapi biayanya sangat mahal. Akhirnya kami harus merawat ibu malam hari itu juga, dan pada pagi harinya ibu meninggal dunia ketika kami semua ketiduran di atas pangkuannya. 

Aku masih ingat perkataan ibu sebelum meninggal. Kami semua menangis di pangkuannya kecuali Nisa yang sudah terlelap terlebih dahulu.

“Ibu, apa ibu akan meninggalkan kami semua.” Isak Asma 

“Ibu tidak akan meninggalkan kalian semua, hanya saja ibu akan berada di alam yang berbeda dengan kalian apabila Allah memanggil ibu. Setidaknya juga ibu bisa menemani ayah juga.” Jawab ibuku dengan tangisan kecil di matanya.

“Tapi kalau ibu meninggal, siapa yang akan menjaga kami? Siapa yang akan menemani kami bu.” Tanyaku sambil terisak.

“Kan ada Andi. Ingat juga, kita punya Allah. Ketika kita kesepian, Allah lah yang akan menjaga kita semua. Allah juga akan selalu menjaga kalian semua selama kalian juga tetap menjalankan perintah Allah. Ibu yakin kok kalau Allah pasti akan melindungi kalian semua.” Jawab ibu sambil terisak.

“Ibu.....” Ucapku dan Asma dalam hati. Dan setelah itu kami tertidur, dan ketika kami sadar, ibu sudah tiada.

******
Setelah ibu meninggalkan kami semua, kami bingung apa yang harus kami perbuat. Kepada siapa kami harus mengais tangan. Akhirnya aku dan Asma sepakat bahwa Asma yang akan mendidik Nisa dan tetap bersekolah sekaligus dia menjual lukisannya kepada teman-temannya di sekolah. Sedangkan aku,  dengan terpaksa harus bekerja demi memenuhi kebutuhan kami bertiga dengan berkerja sebagai seorang tukan becak dan pengumpul sampah.

Sampai suatu ketika, aku dipanggil oleh kepala sekolah karena nilai dan presensiku di kelas turun sangat drastis. 

“Andi, bapak tahu keadaanmu sekarang harus menjadi tulang punggung bagi kedua adikmu. Akan tetapi, kamu tidak bisa dengan seenaknya meninggalkan pelajaran di kelas. Terlebih lagi kamu ini mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Tolong gunakan itu dengan baik.” Buka Pak Kholid selaku kepada sekolah

“Bapak, saya paham maksud bapak. Tapi kalau bukan saya siapa lagi yang bisa menghidupi mereka? Posisi saya sekarang menggantikan ayah dan ibu saya yang sudah meninggal. Saya tidak bisa tenang ketika saya dengan santainya berangkat sekolah dengan beasiswa, sedangkan adik-adik saya harus menderita. Terlebih lagi di sekolah, mereka sering kali diejek oleh teman-temannya. Tugas sayalah untuk melindungi mereka semua.” Jawabku agak marah

“Tapi, kamu sekolah di sini tidak mudah. Pemerintah sudah memberikan kamu beasiswa. Itu adalah resikomu kalau kamu mendapatkan beasiswa. Kamu mau tidak mau harus menyelesaikan pendidikanmu dengan nilai yang baik pula. Ingat, masih banyak orang yang dulunya mendaftar seperti kamu, tapi mereka tidak bisa terseleksi. Kalau kamu seperti ini terus, ini namanya sama saja seperti orang yang kurang ajar. Sudah diberikan kesempatan tapi tidak berterima kasih. Kalau saya tahu seperti ini, sudah dari dulu saya sarankan ke pemerintah supaya memberikan beasiswa kepada orang lain saja.” Pak Kholid dengan nada sedikit meninggi menanggapi perkataanku


“Baiklah pak kalau seperti itu. Mulai saat ini saya putuskan saya berhenti dari sekolah ini dan saya nyatakan beasiswa saya silahkan dicabut dan jangan pernah mencari saya lagi. Saya punya kewajiban yang lebih penting daripada beasiswa,nilai dan lain sebagainya yaitu sebagai pengganti ayah dan ibu saya dalam menjaga kedua adik saya terlebih keluarga saya. Terima kasih Pak Kholid atas perhatian Bapak selama ini. Saya juga mohon maaf apabila banyak merepotkan Bapak. Saya mohon pamit.” Jawabku dengan penuh rasa sedih dan kecewa setelah mendengar perkataan Pak Kholid, dan pada akhirnya aku harus memutuskan seperti itu.

Ketika aku kembali ke kelas, langsung aku ambil tas jinjingku dan aku langung berjalan keluar kelas. Seketika itu, teman-teman sekelasku bertanya aku mau kemana. 

“Andi, kamu mau ke mana? Pelajaran sekolah belum selesai loh.” Tanya Randy.

“Mulai hari ini aku sudah bukan menjadi siswa sekolah ini. Karena aku memutuskan untuk berhenti dari sekolah ini dan beasiswaku terpaksa aku lepaskan demi adik-adikku di rumah. Maaf ya teman-teman kalau aku selama ini ada salah dan terima kasih karena mau menjadi temanku.” Ucapku dengan air mataku yang hampir tumpah.

“Tapi ndi, kamu itu siswa berprestasi dan kami butuh kamu di kelas ini.” Teriak Anita dan diikuti teman-teman sekelasku

“Terima kasih semuanya. Akan tetapi, mungkin tempatku bukan di sini. Aku pamit dulu ya, aku harus pulang ke rumah sekarang. Selamat tinggal.” Ucapku dan tidak kusangka air mata jatuh dari pipiku.

Ketika aku akan keluar kelas, aku sempat melihat ke sekeliling kelas untuk terakhir kalinya. Dan saat itulah aku berhenti pada sesosok perempuan yang saat itu tertunduk dan wajahnya memerah. Akan tetapi aku tidak tahu apakah dia menangis atau tidak. Setahuku, dia salah satu dari teman-temanku yang selalu menjadi teman diskusi dan berbagi untukku selama di sekolah ini. 

Ketika aku meninggalkan gerbang sekolah, akupun pamit dengan Bapak Satpam sekolahku sembari mohon pamit dan meminta maaf kalau selama ini aku punya banyak salah. Dan akhirnya mulai saat ini perjuanganku untuk mempertahankan keluargakupun dimulai sejak aku melepas pendidikanku demi kesuksesan adik-adikku dan kelangsungan kami semua.
Dan akhirnya mulai saat ini perjuanganku untuk mempertahankan keluargakupun dimulai sejak aku melepas pendidikanku demi kesuksesan adik-adikku dan kelangsungan kami semua.

15 Oktober 2012, 21.16 WIB

Monday, February 4, 2013

Cerpen-More Than Words (Pt.1)


Saying I love you 
Is not the words I want to hear from you 
It’s not that I want you 
Not to say, but if you only knew 
How easy it would be to show me how you feel 
More than words is all you have to do to make it real 
Then you wouldn’t have to say that you love me 
Cos I’d already know

(Westlife- More Than Words)

 “You’ll know it. May Allah will permit us to meet each other again :) Now, i’m leaving you. Let me go and thank you for everything that you have given to me and it’s more than words” 
Recieved 27 January 2013, 03.30 am

******

Kubuka pesan yang masuk tadi malam di handphoneku setelah aku tertidur lelap karena, sebelumnya aku bersama teman-temanku harus mempersiapkan acara hari ini hingga jam 2 pagi dan ketika itu pula pesan yang kubuka membuatku sadar bahwa kali ini aku harus kehilangan seseorang lagi yang selalu bersamaku ketika aku senang dan duka. 

 “Fan, ngapain kok dari tadi murung aja? Ayo bantu-bantu sini. Kita kekurangan orang nih. Jangan mainan hape terus ah.” panggil Ali membuyarkan lamunanku di depan hape-ku.

“Eh, iya iya. Bantu apaan nih?” Tanyaku kaget.

“Nih bantu angkatin kursi yang ada di lobi sekolah. Berat tahu.” Balas Rio.

“Sip dah. Ayo.” Sahutku

Sambil berjalan menuju lobi, aku masih tetap memikirkan kejadian tadi malam. Entah mengapa rasanya kejadian tadi malam membuatku merasakan bahwa waktu menjadi sangat panjang bagi diriku. Karena, mulai hari inilah kami harus berjalan sendirian setelah tadi dini hari kami memutuskan untuk tidak bertemu entah sampai kapan akan tetapi kami sudah berjanji untuk tidak saling melupakan dan kamipun berharap suatu saat nanti kita dapat bertemu kembali.

“...Toh juga kalau semisalnya kamu ga ketemu aku lagi juga kamu ga bakalan kesepian kan. Toh juga nantinya kamu bakalan nemuin orang yang bisa gantiin aku kok :)” 

“Kok gitu? Kayak mau perpisahan aja sih?”

“Kupikir begitu.”

“Kenapa? Ada sesuatu yang aneh padamu sekarang Lin?”

“Aku? Ga ada kok. Tenang aja bukan masalah kok. Santai aja.”

“Tapi aku ngerasa ada yang aneh sama kamu sekarang. Is there something wrong with you? Tell me please.”

“Nothing Fan. Believe me please :)”

Ya, percakapanku dengan Lina kemarin sore teringat kembali di benakku. Percakapan yang memulai kejadian tadi malam yang merupakan keputusan besar kita bersama. 

******

Lina, ya dengan nama itulah aku memanggilnya. Awalnya kami belum saling mengenal satu sama lain. Kami baru bertemu semenjak kelas 2 SMA karena kami sama-sama berada di dalam Komunitas Debat yang ada di daerah sekitar sekolah kami, hanya saja kami berbeda sekolah. 

Dari sanalah aku bertemu dengan Lina dan kamipun sering berkomunikasi lewat facebook,twitter dan juga lewat SMS. Banyak hal yang kami diskusikan dan yang paling sering kami diskusikan adalah tentang debat. Karena, kami berdua sama-sama menjadi president di komunitas debat yang ada di sekolah kami. Banyak sekali yang kami diskusikan mulai saling menyemangati,tukar informasi lomba dan lain sebagainya. Akan tetapi lebih dari itu, kami saling mengisi dan menasehati satu sama lain dan tidak jarang pula kami sering saling bercanda satu sama lainnya. Sehingga tidak heran ketika kami berdua saat ini oleh teman-teman Debat lainnya layaknya lebih dari teman dekat. Dan tidak terasa seiring berjalannya waktu, aku merasa kami semakin dekat dari hari ke hari. Dan ternyata benar, rasanya dekat sekali.

Sampai akhirnya jauh kebelakang sebelum kejadian malam tadi, aku mulai merasakan ada sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya.

“Fan, aku punya pertanyaan untukmu. Tapi tolong jawab jujur ya.”

“Ok. Ada apa Lin?”

“Apa aku begitu penting bagi dirimu?” 

“Kenapa? Kok pertanyaanmu tumben seperti itu?”

“Please Fan. Tolong jawab itu”

“Baiklah. Pertama, semua orang yang aku temui selama hidupku adalah orang-orang yang berharga bagiku, begitupula denganmu. Terlebih lagi, selama ini kamu juga sering bantu aku ketika aku ada masalah. ga hanya itu, kamu juga satu-satunya temanku yang mau dan bisa ngajak aku untuk mulai biasain komunikasi make Bahasa Inggris walaupun itu lewat SMS.”

“Thanks Fan.”

“Boleh aku tanya balik ke kamu. Apakah aku begitu penting bagimu?”

“It’s more than words Fan :)”

******

“Kang, gimana nih persiapannya udah selesai belum. Barang-barang masih ada ga yang ketinggalan?” Tanya Faisal

“Insya Allah lengkap, ga ada lagi yang ketinggalan kok” Jawabku

“Ok deh kang. Ayo cabut”

Akhirnya aku bersama Faisal menyusul teman-teman panitia acara perlombaan pelajar se-Kota Yogyakarta untuk mempersiapkan tempat perlombaan tersebut yang dilaksanakan di salah satu sekolah swasta yang ada di daerah Kota Yogyakarta. Meskipun kami berangkat menuju lokasi acara berdua saja, akan tetapi teman-teman yang lain sudah berada di tempat perlombaan dari tadi sore karena acara tersebut akan dilaksanakan besok hari jam 8 pagi. Oleh karena itu, malam ini kami semua akan lembur bersama panitia lokal yang ada di sana. Sambil menikmati perjalanan, tiba-tiba saja hape-ku bergetar dan ternyata ketika kulihat ada pesan masuk dari Lin.

“Hey Fan, lagi ngapain nih?”

“Nih lagi di jalan sama teman. Mau ke tempat perlombaan pelajar buat besok pagi. Ada apa?”

“Yah ga kenapa-kenapa sih. Cuman mau nanya aja.”

“Owalah, tak kira lagi mikirin apa gitu, wkwkwk”

“Ga kali ya. Emangnya mikirin kamu?”

“Mungkin aja kali XD. Udah dulu ya, bentar lagi aku sampai ke lokasi nih. Nanti lagi ya :)”

“Huhuhuhu, dasar”

Akhirnya kumasukkan lagi hape-ku ke dalam kantung jas hitam yang biasa kupakai ketika berpergian kemanapun entah itu acara ataupun hanya sekedar jalan-jalan. 

“Kayaknya asik bener nih kang mainan hape-nya?” Celetuk temanku yang dari tadi melihatku memandang hape-ku lewat kaca spion motornya.

“Yaelah, ga ada apa-apa kok. Cuman ada yang sms aja tadi.” Balasku

“Cepetan deh kang, udah telat nih. Pasti yang lainnya udah pada nunggu.” Sambungku cepat. Tidak terasa kami sudah telat 10 menit.

*****

“Hayo yang tadi lagi galau, hehehehe.” Kubuka percakapanku dengan Lin lewat SMS saat waktunya istirahat bagi panitia setelah bekerja keras mempersiapkan temapat meskipun belum semuanya selesai.

“Yee, kata siapa juga yang galau. Emang kamu, hehehe. Eh Fan, kamu ada acara apa sih di sana. Kok rame banget” Balas Lin

“Biasa sama teman-teman daerah bantu-bantu buat nyiapin acara besok pagi. SekLinan juga ngisi waktu libur. Habis bingung libur 5 hari masa cuman makan,tidur,nonton?” balasku

“Begini nih yang udah jadi aktivis daerah. Oh ya, kamu kan udah masuk jadi pimpinan kan?” Tanya Lin.

“Belum ya. Aku masih komunitas kok.” Balasku

“Ya tapi sama aja kali kan. Lagipula kamu kan calon kuat buat masuk pimpinan daerah” Balas Lin dan aku hanya tersenyum membacanya karena aku juga ga tau apa besok aku dipercayai untuk jadi salah satu dari pimpinan daerah atau bukan.

“Wah, ga tau juga deh. Loh kamu kenapa ga coba ke pimpinan daerah juga. Sepi nih kalau ga ada kamu. Nanti ga ada yang tak kerjain deh XD” Balasku

“Aku mau aktif di sekitar rumahku aja deh. Toh juga kalau semisalnya kamu ga ketemu aku lagi juga kamu ga bakalan kesepian kan. Toh juga nantinya kamu bakalan nemuin orang yang bisa gantiin aku kok :)” Balas Lin. Tiba-tiba saja perasaanku ga enak. Karena aku bingung kenapa dia bicara “nantinya kamu bakalan menemui orang yang bisa gantiin aku”.

“Kok kamu balesnya gitu? Kayak mau perpisahan aja sih?”

“Kupikir begitu.”

“Kenapa? Ada sesuatu yang aneh padamu sekarang Lin?”

“Aku? Ga ada kok. Tenang aja bukan masalah kok. Santai aja.”

“Tapi aku ngerasa ada yang aneh sama kamu sekarang. Is there something wrong with you? Tell me please.”

“Nothing Fan. Believe me please :)”

“Tapi, hari ini kamu aneh banget menurutku. Tell me please why you said like that Lin”

“It’s more than words Fan.”

Aku hanya terpaku membaca pesan yang ia kirimkan padaku. Entah, aku juga bingung sebenarnya ada apa sampai-sampai pada akhirnya aku merasakan bahwa ada yang aneh pada dirinya. Dan tidak terasa pula adzan Shalat Maghrib-pun berkumandang dan kamipun mengambil wudhu dan shalat berjama’ah

******

“Lin, please tell me. Is there something wrong with you?” Tanyaku kembali sambil mengerjakan pekerjaan panitia yang belum selesai. Akan tetapi, pekerjaannya terasa lebih ringan karena teman-teman panitia lokal sudah ada di tempat dan akhirnya membantu kami semua.

“Nothing Fan. Please believe me.”

“Tapi kamu ga seperti biasanya. Aku penasaran kenapa tadi sore kamu bilang seperti itu?”

“Fan, i hope you can let me go”

“Kenapa? Apa selama ini aku punya salah yang buat kamu merasa tersakiti?”

“Ga Fan, kamu ga salah sama sekali. Cuman aku takut aja.”

“Kenapa? Kamu takut kenapa? Tell me please.”

“Aku takut kalau aku pas dekat sama orang apalagi lawan jenis, aku akhirnya kebablasan sampai akhirnya aku lupa sama diriku sendiri. Kamu tahu kan kalau aku udah tekad untuk ga pacaran. Tapi aku takutnya kalau kebablasan itu loh. Kamu paham kan? Eh, tapi kamu ga suka aku kan?”

“Jadi karena itu? Kalau menurutku ya kita harus punya batasan-batasan yang kita buat sendiri. Akan tetapi jangan sampai batasan itu yang malah membuat kita terkekang. Kenapa kamu ga bilang dari tadi seperti itu?”

“Aku? Aku suka kamu kok. Tapi ingat suka-ku di sini bukan berarti aku mau pacaran. Aku ya suka kamu karena kamu selama ini banyak banget bantu aku dan lain sebagainya.”

“Trims Fan aku terima itu. So, will you let me go?”

“Kenapa dari tadi kamu selalu bilang will you let me go terus. Kalau karena kamu takut aku tahu itu. Tapi aku mau tanya maksud let me go itu apa?”

“Maksudku, kita beberapa waktu ini ga saling komunikasi dulu. Entah itu facebook,twitter,blogger dan lain sebagainya Fan. Tapi aku bingung Fan sebenarnya apa tindakakku udah benar. Aku cuman mau jaga semuanya Fan”

“Maksudmu, kita ga akan pernah ketemu lagi?”

“Untuk beberapa saat ini dan aku ga tahu kapan berakhirnya. Tapi Fan, aku yakin kok kamu tetap baik-baik saja kalaupun aku pergi. Karena aku yakin kamu pasti suatu saat akan menemukan orang yang dapat menggantikan posisiku.”

“Tapi Lin, kenapa harus seperti ini. Tell me please what wrong with you?”

“It’s more than words Fan. Aku juga bingung sebenarnya tindakanku seperti ini tepat atau ga? Aku cuman mau ngejaga sesuatu yang berharga buatku Fan.”

Entah rasanya malam itu panjang sekali dan akupun tak tahu apa yang harus kulakukan. Masih banyak tanda tanya yang berputar di dalam benakku. Kenapa tiba-tiba saja semua yang sudah ada berubah 180 derajat begitu saja. 

Tiba-tiba Lin memintaku untuk melepasnya pergi. Aku bingung kenapa dia berkata seperti itu karena kami hanya teman dekat. Entah seperti apa rasanya, aku bingung apa yang harus kulakukan. Ibarat jalan yang sudah kita buat, tiba-tiba saja harus berhenti. Memang ada terbesit rasa cinta itu di dalam hatiku dan mungkin di hatinya juga dan itu wajar. Tapi, aku sudah bertekad bahwa aku tidak akan pacaran begitupula dengannya.

“Lin, aku ga ada hak sama sekali kok untuk melarangmu memilih seperti itu. Karena, aku juga bukan siapa-siapamu. Aku just your friend Lin. Jadi aku hormati kalau memang itu adalah pilihanmu. Tapi aku harap sebelum kita melakukan ini, aku harap kita dapat berkomunikasi untuk terakhir kalinya malam ini.” Jawabku setelah aku memikirkan apa yang seharusnya kulakukan. Karena, meskipun berat tapi aku tetap tidak memiliki hak untuk melarangnya karena ia bukan hak-ku

“Ya, dan kuharap malam ini akan menjadi malam terindahku :)” balas Lin tak lama kemudian

“Begitupula denganku :)” Balasku.

Akhirnya malam itupula kami habiskan untuk saling bercerita satu sama lain, mengenang keanehan-keanehan dan kenangan-kenangan lucu yang sudah kami lewati bersama. Tak lupa pula untuk saling menyemangati bahwa setelah ini kita harus tetap menjadi yang terbaik. Dan rasanya memang seperti pertemuan terakhir yang mana mungkin setelah ini kami tidak akan bertemu lagi selamanya. Sampai pada akhirnya tidak sadar bahwa ternyata hari telah berganti. 

“Fan, keren loh di sini. Bulannya nongol habis tuh bintang cuman ada dua lo :)” Ucap Lin.

“Wah keren tuh :). Oh ya Lin, aku ada permintaan. Tapi tolong dijawab ya.” Ucapku

“Ada apa Fan?” Tanya Lin

“Pertanyaan yang masih sama seperti dulu. Menurutmu aku ini seperti apa dan apa aku ini berharga untukmu?” Tanyaku karena aku ingin mengetahui jawabannya yang selama ini belum aku temui.

“Fan, untuk apa kamu tanyakan itu? It’s more than words” Balas Lin

“Kenapa, setiap kali aku bertanya seperti itu kamu selalu bilang it’s more than words Lin?” Tanyaku

“Fan, aku yakin suatu saat kamu pasti akan menemukan jawabannya. Biarlah kamu yang menemukan jawabannya. Satu hal yang ingin ku katakan padamu, thank you for everythin and it’s more than words. You’ll know it. Trust me please :)”

Lagi-lagi dalam benakku jawabannya yang sama tetap saja muncul. Aku bingung sebenarnya apa yang terjadi padanya. Aku berusaha untuk mengetahuinya, tapi tetap tidak bisa. Dia selalu mengatakan “it’s more than words and you’ll know it”. Sampai pada akhirnya, tiba saatnya untuk mengakhiri semuanya. 

“Fan, i just want to say thank you for everything that you have given to me, it’s very nice to meet you. And may we can meet again. Thank you for everything and sorry for all my mistakes to you. I don’t mean to hurt you. And i believe sometime you’ll find someone who can changes my position better than me. And it’s more than words :)” Pesan terakhir yang diucapkan oleh Lin kepadaku. 

“Yes Lin, thank you for everything you have given to me too. Sorry for all my mistakes to. And i hope we can meet again sometime. Be strong and one again you are so important for me. Now, i let you go, but could you say goodbye to me please for the last time. Hope i can understand what you mean by saying “it’s more than words” :)” Balasku dan seketika itupula aku terlelap di dalam mimpiku dan aku masih belum menemukan jawaban dari kata “it’s more than words”.

Sampai pada akhirnya ketika aku terbangun untuk Shalat Shubuh, ada pesan masuk dari Lin

“You’ll know it. May Allah will permit us to meet each other again :) Now, i’m leaving you. Let me go and thank you for everything that you have given to me and it’s more than words. Goodbye :)”

Continue 



Saturday, February 2, 2013

Catatan Harian Seorang Pramugari


Assalammu'alaikum...

Wah kawan lama sudah ga ketemu ya setelah sekitar 1 bulan aku vakum untuk berbagi tulisan-tulisan untuk kalian semua, hehehehehe. Semoga tetap sehat selalu sampai saat ini :)
Postingan kali ini aku dapatkan dari e-mail yang dikirimkan pamanku beberapa waktu yang lalu. Nah postingan ini merupakan catatan harian seorang pramugari yang bekerja di China Airlines yang bertemu dengan seorang kakek-kakek yang sangat tidak disangka-sangka perangainya. Nah penasaran kan dengan ceritanya? Selamat membaca dan jangan lupa siapkan kopi atau teh hangat beserta camilan kecil :)
Aku adalah seorang pramugari biasa dari China Airlines, karena bergabung dengan perusahaan penerbangan hanya beberapa tahun dan tidak mempunyai pengalaman yang mengesankan, setiap hari hanya melayani penumpang dan melakukan pekerjaan yang monoton.
Pada tanggal 7 Juni yang lalu aku menjumpai suatu pengalaman yang membuat perubahan pandanganku terhadap pekerjaan maupun hidupku.
Hari ini jadwal perjalanan kami adalah dari Shanghai menuju Peking, penumpang sangat penuh pada hari ini.
Di antara penumpang aku melihat seorang kakek dari desa, merangkul sebuah karung tua dan terlihat jelas sekali gaya desanya, pada saat itu aku yang berdiri di pintu pesawat menyambut penumpang kesan pertama dari pikiranku ialah zaman sekarang sungguh sudah maju seorang dari desa sudah mempunyai uang untuk naik pesawat.
Ketika pesawat sudah terbang, kami mulai menyajikan minuman, ketika melewati baris ke 20, aku melihat kembali kakek tua tersebut, dia duduk dengan tegak dan kaku di tempat duduknya dengan memangku karung tua bagaikan patung.
Kami menanyakannya mau minum apa, dengan terkejut dia melambaikan tangan menolak, kami hendak membantunya meletakan karung tua di atas bagasi tempat duduk juga ditolak olehnya, lalu kami membiarkannya duduk dengan tenang, menjelang pembagian makanan kami melihat dia duduk dengan tegang di tempat duduknya, kami menawarkan makanan juga ditolak olehnya.
Akhirnya kepala pramugari dengan akrab bertanya kepadanya apakah dia sakit, dengan suara kecil dia mejawab bahwa dia hendak ke toilet tetapi dia takut apakah di pesawat boleh bergerak sembarangan, takut merusak barang di dalam pesawat.
Kami menjelaskan kepadanya bahwa dia boleh bergerak sesuka hatinya dan menyuruh seorang pramugara mengantar dia ke toilet, pada saat menyajikan minuman yang kedua kali, kami melihat dia melirik ke penumpang di sebelahnya dan menelan ludah, dengan tidak menanyakannya kami meletakan segelas minuman teh di meja dia, ternyata gerakan kami mengejutkannya, dengan terkejut dia mengatakan tidak usah, tidak usah, kami mengatakan engkau sudah haus minumlah, pada saat ini dengan spontan dari sakunya dikeluarkan segenggam uang logam yang disodorkan  kepada kami, kami menjelaskan kepadanya minumannya gratis, dia tidak percaya, katanya saat dia dalam perjalanan menuju bandara, merasa haus dan meminta air kepada penjual makanan di pinggir jalan dia tidak diladeni malah diusir. Pada saat itu kami mengetahui demi menghemat biaya perjalanan dari desa dia berjalan kaki sampai mendekati bandara baru naik mobil, karena uang yang dibawa sangat sedikit, hanya dapat meminta minunam kepada penjual makanan di pinggir jalan itupun kebanyakan ditolak dan dianggap sebagai pengemis.
Setelah kami membujuk dia terakhir dia percaya dan duduk dengan tenang meminum secangkir teh, kami menawarkan makanan tetapi ditolak olehnya.
Dia menceritakan bahwa dia mempunyai dua orang putra yang sangat baik, putra sulung sudah bekerja di kota dan yang bungsu sedang kuliah di tingkat tiga di Peking. anak sulung yang bekerja di kota menjemput kedua orang tuanya untuk tinggal bersama di kota tetapi kedua orang tua tersebut tidak biasa tinggal di kota akhirnya pindah kembali ke desa, sekali ini orang tua tersebut hendak menjenguk putra bungsunya di Peking, anak sulungnya tidak tega orang tua tersebut naik mobil begitu jauh, sehingga membeli tiket pesawat dan menawarkan menemani bapaknya bersama-sama ke Peking, tetapi ditolak olehnya karena dianggap terlalu boros dan tiket pesawat sangat mahal dia bersikeras dapat pergi sendiri akhirnya dengan terpaksa disetujui anaknya.
Dengan merangkul sekarung penuh ubi kering yang disukai anak bungsunya, ketika melewati pemeriksaan keamanan di bandara, dia disuruh menitipkan karung tersebut di tempat bagasi tetapi dia bersikeras membawa sendiri, katanya jika ditaruh di tempat bagasi ubi tersebut akan hancur dan anaknya tidak suka makan ubi yang sudah hancur, akhirnya kami membujuknya meletakan karung tersebut di atas bagasi tempat duduk, akhirnya dia bersedia dengan hati-hati dia meletakan karung tersebut.
Saat dalam penerbangan kami terus menambah minuman untuknya, dia selalu membalas dengan ucapan terima kasih yang tulus, tetapi dia tetap tidak mau makan, meskipun kami mengetahui sesungguhnya dia sudah sangat lapar, saat pesawat hendak mendarat dengan suara kecil dia menanyakan kepadaku apakah ada kantongan kecil? dan memintaku meletakkan makanannya di kantong tersebut. Dia mengatakan bahwa dia belum pernah melihat makanan yang begitu enak, dia ingin membawa makanan tersebut untuk anaknya, kami semua sangat kaget.
Menurut kami yang setiap hari melihat makanan yang begitu biasa di mata seorang desa menjadi begitu berharga.
Dengan menahan lapar disisihkan makanan tersebut demi anaknya, dengan terharu kami mengumpulkan makanan yang masih tersisa yang belum kami bagikan kepada penumpang ditaruh di dalam suatu kantongan yang akan kami berikan kepada kakek tersebut, tetapi di luar dugaan dia menolak pemberian kami, dia hanya menghendaki bagian dia yang belum dimakan tidak menghendaki yang bukan miliknya sendiri, perbuatan yang tulus tersebut benar-benar membuat aku terharu dan menjadi pelajaran berharga bagiku.
Sebenarnya kami menganggap semua hal tersebut sudah berlalu, tetapi siapa menduga pada saat semua penumpang sudah turun dari pesawat, dia yang terakhir berada di pesawat. Kami membantunya keluar dari pintu pesawat, sebelum keluar dia melakukan sesuatu hal yang sangat tidak bisa kulupakan seumur hidupku, yaitu dia berlutut dan menyembah kami, mengucapkan terima kasih dengan bertubi-tubi, dia mengatakan bahwa kami semua adalah orang yang paling baik yang dijumpai, “Kami di  desa hanya makan sehari sekali dan tidak pernah meminum air yang begitu manis dan makanan yang begitu enak, hari ini kalian tidak memandang hina terhadap saya dan meladeni saya dengan sangat baik, saya tidak tahu bagaimana mengucapkan terima kasih kepada kalian.”
Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, dengan menyembah dan menangis dia mengucapkan perkataannya. Kami semua dengan terharu memapahnya dan menyuruh seseorang anggota yang bekerja di lapangan membantunya keluar dari lapangan terbang.
Selama 5 tahun bekerja sebagai pramugari, sudah beragam penumpang kujumpai, ada yang banyak tingkah, yang cerewet dan lain-lain, tetapi belum pernah menjumpai orang yang menyembah kami, kami hanya menjalankan tugas kami dengan rutin dan tidak ada keistimewaan yang kami berikan, hanya menyajikan minuman dan makanan, tetapi kakek tua yang berumur 70 tahun tersebut sampai menyembah kami mengucapkan terima kasih, sambil merangkul karung tua yang berisi ubi kering dan menahan lapar menyisihkan makanannya untuk anak tercinta, dan tidak bersedia menerima makanan yang bukan bagiannya, perbuatan tersebut membuat aku sangat terharu dan menjadi pengalaman yang sangat berharga buatku di masa datang yaitu jangan memandang orang dari penampilan luar tetapi harus tetap menghargai setiap orang dan mensyukuri apa yang kita dapat.
(Sumber Dajiyuan)